Islam melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang lain semacam jika BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga membuat warga sulit mencari minyak dan hanya bisa diperoleh dengan harga yang relatif mahal. Begitu pula segala bentuk penipuan dan pengelabuan dalam jual beli menjadikannya terlarang. Saat ini kita akan melihat bahasan sebagai tindak lanjut dari tulisan sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang. Moga bermanfaat.
Ketiga: Jual beli yang mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)
1. Menjual di atas jualan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu” (HR. Muslim no. 1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
“Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya” (HR. Bukhari no. 2139).
Yang dimaksud menjual di atas jualan saudaranya semisal seseorang yang telah membeli sesuatu dan masih dalam tenggang khiyar (bisa memutuskan melanjutkan transaksi atau membatalkannya), lantas transaksi ini dibatalkan. Si penjual kedua mengiming-imingi, “Mending kamu batalkan saja transaksimu dengan penjual pertama tadi. Saya jual barang ini padamu (sama dengan barang penjual pertama tadi), namun dengan harga lebih murah.” Si penjual intinya mengiming-imingi dengan harga lebih menggiurkan atau semisal itu sehingga pembeli pertama membatalkan transaksi. Jual beli semacam ini jelas haramnya berdasarkan dalil-dalil di atas karena di dalamnya ada tindakan memudhorotkan saudara muslim lainnya.
Begitu pula diharamkan membeli di atas belian saudaranya. Contohnya si pembeli kedua berkata pada si penjual yang masih berada dalam tenggang khiyar dengan pembeli pertama, “Mending kamu batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli dengan harga lebih tinggi dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini berani membayar dengan harga lebih tinggi sehingga penjual berani membatalkan transaksi dengan pembeli pertama.
Dua macam transaksi di atas adalah transaksi yang haram karena menimbulkan mudhorot dan kerusakan bagi kaum muslimin lainnya.
Ibnu Hajar katakan bahwa dua macam transaksi di atas haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama” (Fathul Bari, 4: 353).
Konsekuensi dari transaksi ini menunjukkan akan tidak sahnya (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 391). Jual beli macam ini jelas sekali menimbulkan saling benci, saling hasad (iri) dan saling omong-omongan yang tidak baik antara satu dan lainnya. Oleh karena itu terlarang.
Ada juga bentuk serupa yang terlarang yang diistilahkan dengan “saum”. Bentuknya adalah ada dua orang yang tawar menawar, penjual menawarkan barangnya dengan harga tertentu dan pembeli pertama sudah ridho dengan harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia pun melakukan tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga lebih atau dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa pembeli kedua yang diberi? Karena pembeli kedua adalah orang terpandang. Sehingga ini yang membuat si penjual menjualkan barangnya pada pembeli kedua karena ia lebih terpandang. Lihat penjelasan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 9: 216.
Dalam keterangan lain dari Imam Nawawi rahimahullah, “Melakukan saum di atas saum saudaranya, bentuknya adalah penjual dan pembeli telah sepakat dan sudah penjual sudah mau menjual barangnya, namun belum terjadi akad, kemudian datanglah pembeli lainnya dengan berkata, “Saya beli barang itu yah.” An Nawawi mengatakan bahwa tindakan seperti ini haram karena sudah ditetapkan harga saat itu. Adapun penawaran terhadap barang yang telah dijual dengan sistem lelang, maka itu tidaklah haram” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 10: 158). Dalam keterangan An Nawawi ini menunjukkan bahwa si penjual fix melakukan akad dengan pembeli yang tidak mesti orang terpandang, artinya di sini lebih umum pada siapa saja.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَتِهِ
“Janganlah melakukan saum (penawaran) di atas saum (penawaran) saudaranya. Jangan pula melakukan khitbah di atas khitbah saudaranya” (HR. Muslim no. 1413).
2. Jual beli najesy
Yang dimaksud adalah seseorang sengaja membuat harga barang naik padahal ia tidak bermaksud membeli dan dia mendorong yang lain untuk membelinya, akhirnya pun membeli atau ia memuji barang yang dijual sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan.
Dalil terlarangnya jual beli semacam ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبْتَاعُ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa” (HR. Bukhari no. 2160 dan Muslim no. 1515).
Najesy berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian pendapat jumhur. Namun jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy tetap sah karena najesy dilakukan oleh orang yang ingin menaikkan harga barang –namun tidak bermaksud untuk membeli- sehingga tidak mempengaruhi rusaknya akad. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 118-119.
Ulama Hambali berpendapat bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat ghoban (beda harga yang amat jauh dengan harga normal), maka pembeli punya hak khiyar (pilihan) untuk membatalkan jual beli (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 119).
Sedangkan jual beli pada sistem lelang (dikenal dengan istilah “muzayadah”), itu dibolehkan. Jual beli lelang setiap yang menawar ingin membeli, beda halnya dengan najesy yang cenderung merugikan pihak lain karena tidak punya niatan untuk membeli.
3. Talaqqil jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ، فَنَهَانَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ.فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)” (HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).
4. Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk orang desa (pedalaman)
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » . قَالَ فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
“Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 84).
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
- Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
- Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah masalah.
- Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83)
5. Menimbun Barang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim no. 1605).
Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Al Qodhi Iyadh rahimahullah berkata, “Alasan larangan penimbunan adalah untuk menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang menyusahkan mereka wajib dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu negeri menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka itu wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah ‘menghindarkan segala hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang.” (Ikmalul Mu’lim, 5: 161).
Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang banyak (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 395).
6. Jual beli dengan penipuan atau pengelabuan
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).
Jual beli yang mengandung penipuan ini di antaranya adalah jual beli najesy yang sudah dibahas di atas. Contoh bentuk jual beli ini adalah jual beli yang dilakukan dengan mendiskripsikan barang melalui gambar, audio atau tulisan dan digambarkan seolah-olah barang tersebut memiliki harga yang tinggi dan menarik, padahal ini hanyalah trik untuk mengelabui pembeli. Termasuk pula adalah jual beli dengan menyembunyikan ‘aib barang dan mengatakan barang tersebut bagus dan masih baru, padahal sudah rusak dan sudah sering jatuh berulang kali. Intinya, setiap tindak penipuan dalam jual beli menjadi terlarang.
Wa billahit taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 6 Jumadats Tsani 1433 H